By, Usman Lonta
Tulisan ini merupakankan refleksi kritis terhadap paradigma kebijakan penanggulangan kemiskinan di Indonesia dengan mengadaptasi kisah humor klasik Nasruddin Hoja. Cerita tentang Nasruddin yang berusaha menarik bulan dari sumur dijadikan metafora untuk melihat bagaimana kebijakan sering terjebak pada gejala permukaan ketimbang akar masalah struktural kemiskinan.
Artikel ini juga mengaitkan refleksi tersebut dengan beberapa ayat Al-Qur’an yang mengingatkan agar manusia tidak terperangkap dalam ilusi, serta mengusulkan kerangka korektif kebijakan berbasis keadilan struktural.
Penanggulangan kemiskinan telah menjadi agenda tetap dalam setiap rezim pemerintahan di Indonesia. Beragam program, mulai dari bantuan sosial tunai, subsidi pangan, hingga pelatihan kewirausahaan telah dijalankan dengan berbagai variasi. Namun, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa penurunan angka kemiskinan berjalan lambat dan sering stagnan.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah kebijakan yang dijalankan benar-benar menyentuh akar masalah kemiskinan atau hanya sekadar menangani gejala yang nampak di permukaan?
Untuk menggali secara kritis, tulisan ini menggunakan kisah humor Nasruddin Hoja sebagai kerangka reflektif. Humor dalam kisah ini tidak sekadar hiburan, tetapi cermin filosofis tentang perilaku manusia yang kerap keliru memahami realitas.
Dalam salah satu cerita paling sangat populer, Nasruddin Hoja berjalan di halaman rumah pada malam bulan purnama. Ketika melihat pantulan bulan di dasar sumur, ia yakin bahwa bulan benar-benar jatuh. Ia pun menyiapkan tali dan pengait, dan bergegas menurunkan ke dasar sumur, Dia berusaha mengembalikan bulan ke tempatnya dengan menarik tali yang dudah dilemparkannya ke dasar sumur.
Alhasil tali pengait tersebut tersangkut di dasar sumur. Nasruddin tetap gigih bergulat menarik tali pengait tersebut. Dalam pergulatannya Nasruddin Hoja terpeleset dan jatuh ke tanah dalam posisi menghadap ke langit dan mendapati bahwa bulan bulan sudah kembali ke tempat semula.
Pesan simbolik dari cerita ini sederhana, manusia sering terjebak pada ilusi, sibuk mengutak-atik pantulan, dan mengklaim keberhasilan atas sesuatu yang tidak pernah bergeser sedikit pun. Dengan kata lain, tindakan yang keliru sasaran akan selalu berujung pada kepuasan semu.
Apakah Metafora ini relevan dengan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia? Jika ditelisisk lebih mendalam banyak kebijakan penanggulangan kemiskinan di Indonesia dapat diibaratkan seperti usaha Nasruddin Hoja. Beragam program dikemas dengan terminologi modern seperti empowerment, capacity building, atau inclusive growth. Namun, sebagian besar hanya bersifat tambal sulam, antara lain :
1. Bantuan Sosial Temporer. Bantuan tunai rutin memang penting untuk menjaga daya beli masyarakat miskin. Namun, jika tidak dibarengi dengan pembukaan akses lapangan kerja layak, maka masyarakat hanya akan berpindah status dari “miskin” menjadi “rentan miskin”.
2. Pelatihan Tanpa Pasar. Pelatihan keterampilan menjamur di berbagai daerah, tetapi jarang disinergikan dengan penciptaan pasar dan akses modal. Pelatihan hanya berakhir di sertifikat tanpa dampak berarti.
3. Proyek Berbasis Data Administratif. Menargetkan penerima manfaat acapkali berbasis data administratif yang tidak selalu merepresentasikan kondisi riil. Ketimpangan struktural seperti penguasaan lahan, upah rendah, serta kurangnya koordinasi antar instansi/pemerintah dan pemerintah daerah
Akibatnya, indikator kemiskinan hanya turun sedikit atau bersifat fluktuatif. Sementara struktur yang memproduksi kemiskinan tetap utuh.
Beberapa dasar-dasar teologis yang tercantum dalam al-qur’an yang menyentil ulah manusia, agar tidak terperangkap dalam ilusi dan pencitraan, diantaranya.
Dalam surah al-baqarah ayat 42 Allah berfirman yang artinya “Dan janganlah kamu mencampuradukkan yang hak dengan yang batil, dan jangan pula kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahuinya”
Kebijakan yang menangani bayangan kemiskinan tetapi menutupi ketimpangan struktural adalah bentuk mencampuradukkan kebenaran dengan kepalsuan.
Lebih jauh, QS. Al-Kahfi: 103–104 memberi peringatan:
“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? (Yaitu) orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”
Ayat ini relevan untuk menggambarkan bagaimana kebijakan bisa sia-sia jika tidak berangkat dari pemahaman akar masalah.
Sementara QS. Al-Hadid: 20 menegaskan bahwa banyak urusan dunia hanyalah permainan dan perhiasan:
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling bermegah-megahan di antara kamu…”
Ini peringatan agar kebijakan sosial tidak berubah menjadi panggung saling pamer prestasi, namun luput dari esensi.
Cerita Nasruddin Hoja menegaskan satu hal, penanggulangan kemiskinan yang hanya fokus pada indikator administratif tanpa membongkar struktur ketimpangan hanya akan berputar pada kepuasan semu. Untuk keluar dari perangkap “menarik bulan dari sumur”, kebijakan penanggulangan kemiskinan sejatinya di arahkan pada :
1. Mengutamakan transformasi struktural seperti reforma agraria, akses modal produktif, dan penciptaan lapangan kerja bermartabat.
2. Menjamin keadilan distribusi sumber daya dan perlindungan sosial berkelanjutan.
3. Menempatkan masyarakat miskin sebagai subjek aktif, bukan sekadar objek penerima bantuan.
4. Membuka ruang evaluasi yang otentik, melibatkan suara rakyat secara partisipatif.
Dengan demikian, upaya menanggulangi kemiskinan benar-benar menjadi ikhtiar menjemput keadilan sosial, bukan sekadar menarik bayangan bulan di dasar sumur.
Wallahu a’lam bishshawab
Sungguminasa, 29 Juni 2025/3 Muharram 1447 H.