RAKYATSATU.COM, PALOPO – Isu lama kembali menyeruak di tengah panasnya suhu politik Palopo. Akhmad Syarifuddin, atau yang lebih dikenal dengan nama Ome, kembali disorot publik. Bukan karena program atau visi politik, tapi karena masa lalu: kasus ujaran kebencian yang sempat menyeret namanya pada 2018.
Namun menariknya, isu ini tak serta-merta meruntuhkan dukungan publik terhadapnya. Bahkan, dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilwali Palopo 2025, pasangan Naili Trisal – Ome justru tetap mendapat tempat di hati sebagian warga Kota Idaman ini.
Fakta ini diungkap melalui survei terbaru dari PT Duta Politika Indonesia (DPI). CEO DPI, Dedi Alamsyah Mannaroi, menyebut isu tersebut memang hidup di masyarakat, tapi tidak dominan dalam membentuk sikap politik warga.
“Kami ukur secara langsung di lapangan. Hasilnya, 56,4 persen warga menyatakan tidak terpengaruh oleh isu ujaran kebencian. Bahkan, 38,6 persen tetap akan memilih pasangan Naili Trisal – Ome,” ujar Dedi saat merilis hasil survei, akhir Mei lalu.
Survei DPI yang dilakukan pada 23–26 April 2025 melibatkan 440 responden, menggunakan metode *multistage random sampling*, dengan margin of error 4,8 persen. Dari situ terungkap bahwa meskipun 61,8 persen responden mengaku mengetahui kasus Ome, hanya 38,2 persen yang menyatakan ia bersalah. Sebaliknya, 43,9 persen menyebut Ome tak bersalah.
Yang lebih menarik, mayoritas responden (56,4 persen) mengaku bahwa kasus tersebut tidak memengaruhi pilihan politik mereka. Sebuah angka yang cukup menggambarkan keteguhan pemilih – atau mungkin, kelelahan publik terhadap isu lama yang terus diangkat kembali.
“Publik Palopo terbukti rasional. Mereka menimbang lebih dari sekadar riwayat hukum,” kata Dedi.
Di tengah dinamika ini, pasangan calon lain, RMB–ATK, melayangkan gugatan atas hasil PSU. Salah satu poin yang ikut disorot dalam gugatan itu: hasil survei DPI. Sebuah langkah yang disebut Dedi sebagai bentuk salah kaprah dalam memahami peran lembaga survei.
“Kami tidak sedang membela siapa pun. Kami hanya memotret suara rakyat. Jangan diseret ke pusaran politik,” tegasnya.
Menurut Dedi, DPI tidak hanya memantau satu pasangan, melainkan seluruh kandidat yang berkontestasi. “Kami menangkap dinamika yang kadang tak kasat mata – dari isu terang-benderang hingga bisik-bisik politik,” ujarnya.
Survei DPI, suka tidak suka, kini menjadi bagian dari medan kontestasi. Bukan sekadar angka, tapi juga narasi. Di Palopo, tampaknya, pertarungan tak hanya di TPS, tapi juga dalam pertarungan persepsi.(Ikhlas/amd)