RAKYATSATU.COM, MAKASSAR - Benteng Fort Rotterdam, saksi bisu sejarah kolonial di Makassar, hari itu bergema dengan suara puisi. Bukan dari penyair kawakan, melainkan dari sosok yang biasanya berbicara dengan angka dan kebijakan: Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin.
Dalam helatan Makassar International Writers Festival (MIWF) 2025, Munafri tak sekadar hadir untuk seremonial. Ia naik ke panggung dengan satu tugas, membacakan puisi "Pulang ke Dapur Ibu", karya penyair kenamaan M. Aan Mansyur. Suara tenangnya menggema di tengah kerumunan ribuan penikmat sastra yang tiba-tiba hening, larut dalam bait-bait yang menghidupkan memori tentang ibu, rumah, dan kerinduan yang bersahaja.
“Saya dikasih dua pilihan judul. Tapi yang satu tentang benci, yang ini tentang ibu. Saya pilih ini karena terlalu dekat dengan hati,” ucap Munafri, usai membacakan puisinya dengan suara yang sesekali bergetar.
MIWF tahun ini, selain menyedot kehadiran hingga 20 ribu penonton selama rangkaian acara, juga menjadi ruang ekspresi lintas batas. Para penulis, seniman visual, musisi, dan pembaca dari dalam dan luar negeri bersatu dalam kemeriahan festival yang telah menjadi ikon literasi Indonesia Timur.
Namun yang membuat MIWF 2025 istimewa, bukan hanya soal jumlah atau kehadiran tokoh publik. Tapi ketika seorang kepala daerah memilih merayakan puisi, bukan pidato, memilih emosi, bukan statistik dan berdiri sebagai pembaca, bukan pengarah.
“Pemerintah tak boleh berjarak dari seni. Ini bukan hanya festival sastra, ini jembatan perasaan warga. Tahun depan, kami siap mendukung lebih besar,” ujar Munafri, yang berkomitmen memperluas dukungan Pemkot Makassar terhadap festival ini.
Di MIWF, politik bertemu puisi, kekuasaan bersanding dengan kepekaan. Dan malam itu, di bawah cahaya Fort Rotterdam yang temaram, Makassar merayakan sastra sebagai rumah pulang—ke dapur ibu, dan seterusnya. (ikhlas/Azhar)