Haidir Fitra Siagian Ketua PRIM NSW 2021/2022).
RAKYATSATU.COM, Pada 2019, dalam sebuah percakapan santai dengan seorang warga negara Australia yang datang memperbaiki peralatan rumah tangga di asrama kami di Wollongong, New South Wales, saya mengajukan pertanyaan sederhana namun sensitif: “Apa pendapat Anda tentang Muslim?”
Jawabannya di luar dugaan. Ia menyebut Muslim identik dengan kemiskinan, kebodohan, dan terorisme. Meski menyakitkan, jawaban itu tidak sepenuhnya mengejutkan. Ia hanya mengulang gambaran yang selama ini dikonsumsi dari televisi dan media massa Barat.
Selama bertahun-tahun, Islam kerap ditampilkan media Barat dalam bingkai konflik, kekerasan, dan ekstremisme. Dalam perspektif komunikasi politik, praktik ini dikenal sebagai framing—cara media menonjolkan aspek tertentu dari realitas sehingga membentuk persepsi publik, bahkan tanpa pengalaman langsung. Akibatnya, umat Islam sering dipersepsikan sebagai kelompok yang kasar dan berbahaya.
Namun, sebuah peristiwa besar pada Desember 2025 mengguncang narasi lama itu.
Di Bondi Beach—kawasan pantai ikonik Australia yang ramai wisatawan—terjadi insiden penembakan yang mengancam keselamatan warga sipil. Saya sendiri pernah berkunjung ke pantai ini pada 2022 bersama keluarga. Keindahan dan keramaiannya masih sangat melekat. Beberapa sudut yang muncul dalam video penembakan di media sosial terasa begitu familiar.
Dalam kekacauan tersebut, seorang imigran Muslim asal Suriah, Ahmed Al Ahmed, menunjukkan keberanian luar biasa. Tanpa senjata dan tanpa perlindungan, ia berlari menghadapi pelaku, terlibat perkelahian, dan berhasil merebut senjata sang penyerang. Aksinya memberi waktu bagi warga sekitar untuk menyelamatkan diri. Ahmed tertembak hingga lima peluru dan nyaris kehilangan nyawa.
Insiden itu berlangsung singkat, tetapi dampaknya melampaui skala fisik kejadian.
Media nasional dan internasional segera menyoroti keberanian Ahmed. Dalam artikel “Australian Prime Minister praises Bondi hero Ahmed Al-Ahmed as ‘best of our country’” yang diterbitkan The Guardian pada 16 Desember 2025, heroisme Ahmed menjadi perhatian luas. Narasi yang selama ini menempatkan Muslim sebagai ancaman mendadak bergeser: Muslim tampil sebagai penyelamat, simbol keberanian, dan contoh integrasi sosial yang positif.
Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, secara terbuka memberikan apresiasi kepada Ahmed sebagai “pahlawan dan contoh terbaik dari negara kami”. Ia bahkan mengunjungi Ahmed di rumah sakit. Pernyataan ini penting, karena legitimasi elite politik memiliki daya besar dalam membentuk persepsi publik. Dukungan ini menegaskan bahwa keberanian dan kemanusiaan tidak ditentukan oleh latar agama atau asal-usul.
Solidaritas lintas iman pun mengalir. Dewan Patriarkat dan para pemimpin Gereja di Yerusalem mengecam serangan tersebut sekaligus memuji keberanian Ahmed. Mereka menegaskan bahwa tindakannya merupakan simbol penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal—bahwa pengorbanan dan keberanian melampaui batas agama.
Dari perspektif Islam, tindakan Ahmed sejalan dengan prinsip moral inti agama. Al-Qur’an menegaskan bahwa menyelamatkan satu nyawa manusia sama nilainya dengan menyelamatkan seluruh umat manusia. Ulama kontemporer seperti Yusuf Qardawi juga menekankan moderasi, menolak ekstremisme, dan mengutamakan kemaslahatan. Dalam pandangan ini, kekerasan dan fanatisme jelas bertentangan dengan ajaran Islam.
Islam menempatkan perlindungan nyawa manusia sebagai prinsip utama. Kekerasan hanya dibenarkan dalam kondisi sangat terbatas, dengan aturan ketat, dan sebagai jalan terakhir. Tindakan Ahmed bukan hanya pembelaan diri, tetapi juga manifestasi nyata dari ajaran Islam yang menjunjung tinggi kemanusiaan.
Dari sudut pandang komunikasi politik, peristiwa Bondi menunjukkan betapa kuatnya peran framing. Satu tindakan heroik mampu meruntuhkan stereotip lama dan membangun narasi baru. Jika sebelumnya media menekankan ancaman dan ketakutan, kini sorotan beralih pada empati, keberanian, dan kontribusi sosial umat Islam.
Teori agenda setting dan soft power menjelaskan bahwa pemberitaan media serta legitimasi elite politik mampu membentuk opini publik terhadap kelompok minoritas. Ahmed Al Ahmed kini menjadi simbol bahwa Islam moderat dapat tampil sebagai kekuatan moral universal—melampaui batas agama, ras, dan kebangsaan.
Peristiwa ini menyampaikan pesan yang jelas: dunia seharusnya menilai Islam dari tindakan nyata para pemeluknya, bukan dari prasangka dan pemberitaan negatif yang berulang. Kisah Ahmed menunjukkan bagaimana satu individu dapat menjadi agen perubahan persepsi dan simbol moral bagi masyarakat luas.( Ikhlas/ Amd)