Muhammad Burhanuddin
Ketua DPP Garuda Astacita Nusantara
RAKYATSATU. COM- Pekan ini saya mengikuti sejumlah diskusi di berbagai WAG mengenai program pangan nasional. Ketika berbicara tentang kemandirian pangan, perhatian publik hampir selalu tertuju pada komoditas daratan seperti beras, jagung, dan kedelai. Padahal ada satu komoditas strategis yang selama ini terpinggirkan: rumput laut, khususnya produk hilir bernilai tingginya, yakni karaginan.
Indonesia merupakan salah satu produsen rumput laut terbesar di dunia, tetapi ironisnya, kita masih berperan sebagai pemasok bahan mentah. Kita ibarat raksasa kakao yang tak pernah menjadi produsen coklat kelas dunia. Potensi besar itu belum diolah menjadi kekuatan industri.
Potensi Besar, Kekuatan Hilir Belum Terbangun Sulawesi Selatan adalah contoh paling jelas. Dari Takalar hingga Luwu, produksi rumput laut menghidupi ratusan ribu keluarga dan memasok tonase besar setiap tahun. Namun sebagian besar dikirim ke luar daerah atau diekspor sebagai bahan mentah.
Di sisi lain, jurang kapasitas antara perusahaan modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) begitu lebar. Perusahaan PMA mampu mengolah ribuan ton bahan baku per hari dengan dukungan teknologi modern, laboratorium R&D, manajemen mutu ketat, serta kemitraan jangka panjang dengan petani dan pemerintah daerah.
Sebaliknya, banyak perusahaan PMDN yang sudah lama beroperasi masih berkutat di kapasitas 3–5 ton per hari. Mesin menua, standar mutu tidak stabil, rantai pasok tidak pasti, dan minimnya pembiayaan jangka panjang membuat mereka sulit naik kelas. Tidak sedikit peralatan bantuan pemerintah yang akhirnya mangkrak menjadi besi tua.
Riset lapangan tim DPP Garuda Astacita Nusantara menemukan bahwa kapasitas terpasang industri karaginan nasional sesungguhnya sangat terbatas. Banyak pabrik beroperasi di bawah kapasitas, menghadapi kendala teknis maupun non-teknis, dan tidak mampu meningkatkan produksi. Ini menegaskan bahwa masalah utamanya bukan sekadar modal, tetapi ekosistem industri yang tak pernah dibangun secara menyeluruh.
Bandingkan dengan Tiongkok, yang mengembangkan industri rumput laut secara terintegrasi dari hulu ke hilir, memperbarui teknologi terus-menerus, menstandarkan kualitas petani secara nasional, dan mengonsolidasikan pemasaran global dalam satu ekosistem terpadu. Di Indonesia, perusahaan lokal berjalan sendiri-sendiri tanpa orkestrasi kebijakan jangka panjang.
Hilirisasi yang Terjebak di Ruang Seminar Indonesia sudah bertahun-tahun membicarakan hilirisasi rumput laut, namun implementasinya sering berhenti pada seminar, webinar, dan studi banding tanpa menghasilkan pabrik baru atau inovasi teknologi. Sementara itu, pasar global bergerak cepat. Karaginan kini menjadi komponen vital industri pangan modern—mulai daging olahan, es krim, produk susu, pangan vegan, hingga farmasi dan kosmetik. Permintaannya terus naik seiring tren penggunaan bahan alami.
Jika kita tidak mempercepat langkah, Indonesia akan tetap menjadi penonton dalam pasar global yang berbahan baku rumput laut kita sendiri. Mengapa Karaginan Layak Jadi Sentra Hilirisasi Nasional Setidaknya ada tiga alasan karaginan harus masuk prioritas strategis pembangunan industri nasional:
1. Tulang punggung industri pangan modern.
Kemandirian pangan mustahil tercapai jika bahan pengental, penstabil, dan pembentuk gel masih harus diimpor, padahal bahan bakunya berasal dari perairan kita.
2. Nilai tambah berlipat dan berdampak langsung ke ekonomi rakyat.
Rumput laut kering dihargai Rp20.000–30.000 per kg, sedangkan karaginan mencapai Rp120.000–300.000 per kg. Nilai tambah ini menstabilkan pendapatan petani, memperkuat perusahaan lokal, dan mengurangi impor bahan pangan industri.
3. Indonesia memiliki basis produksi terbesar di dunia.
Volume produksi adalah modal terpenting dalam industri ini, dan Indonesia sudah memilikinya. Yang kurang hanya kemampuan mengolahnya menjadi nilai tambah tinggi.
Saatnya Menetapkan Karaginan sebagai Proyek Strategis Nasional Untuk mewujudkan visi Presiden Prabowo Subianto tentang kemandirian pangan, karaginan harus ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). PSN karaginan dapat mencakup pembangunan pabrik pengolahan di sentra produksi, pembiayaan jangka panjang bagi PMDN, insentif fiskal, riset terpadu dari bibit hingga ekstraksi, standardisasi mutu nasional, kontrak pasokan bagi petani, serta pembangunan infrastruktur penunjang termasuk akses jalan dan cold chain.
Dengan pendekatan ekosistem yang lengkap, industri karaginan dapat tumbuh secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Kemandirian Pangan Dimulai dari Laut Kemandirian pangan tidak hanya dibangun dari sawah dan ladang—laut Indonesia menyimpan kekuatan strategis yang dapat menggerakkan industri pangan masa depan. Rumput laut dan karaginan adalah peluang besar yang terlalu lama terabaikan. Jika Indonesia ingin melompat dari pemasok bahan baku menjadi pemain utama industri pangan global, keputusan berani harus diambil sekarang. Karaginan tidak boleh lagi menjadi komoditas pinggiran, tetapi pintu utama menuju kemandirian pangan berbasis maritim.( Ikhlas/ Amd)