Iklan

Iklan

Api, Jarah, Ancaman Demokrasi dan Jalan Keluar

02 September 2025, 8:25 AM WIB Last Updated 2025-09-02T00:26:01Z

Mustari Mustafa, Guru Besar Filsafat UIN Alauddin dan Ketua Harian Hubungan Luar Negeri MUI Sulawesi Selatan.

RAKYATSATU.COM, Makassar- Gelombang demonstrasi yang melanda berbagai daerah akhir-akhir ini menyisakan potret yang tidak bisa dianggap remeh. Sasaran amarah massa bukan hanya ruang publik yang umum, tetapi secara spesifik diarahkan ke gedung DPR, DPRD, kantor kepolisian, hingga rumah-rumah pejabat dan anggota legislatif. Kantor dibakar, rumah dijarah, pos polisi diserbu. Dari luar, semua ini tampak sebagai tindakan brutal tanpa kendali. Namun, jika kita cermati lebih dalam, aksi semacam ini menyimpan logika simbolik yang dapat dibaca secara ilmiah.

Simbol Kekuasaan dalam Api Protes

Dalam kacamata Framing Theory, aksi anarkhis tidak hanya dimaknai sebagai perusakan, melainkan sebagai cara massa membingkai sebuah peristiwa menjadi krisis serius. Gedung DPR atau kantor polisi bukan sekadar bangunan fisik, melainkan simbol negara. Ketika simbol itu diserang, pesan yang ingin disampaikan adalah: “krisis bukan di jalanan, tetapi di pusat kekuasaan.” Dengan membakar atau merusak institusi negara, massa menciptakan narasi bahwa negara telah gagal mendengar, gagal hadir, dan gagal melindungi.
Di sisi lain, Political Opportunity Structure yang diperkenalkan Charles Tilly dan Sidney Tarrow memberi penjelasan lain: tindakan radikal lahir ketika jalur resmi partisipasi politik dianggap buntu. DPR dan DPRD sering dilihat hanya menjadi stempel kebijakan, bukan penyalur aspirasi. Polisi pun lebih dipersepsikan sebagai alat represi ketimbang pelindung. Dalam kondisi seperti ini, protes yang awalnya damai bisa bergeser menjadi serangan simbolik terhadap institusi yang dianggap menutup ruang dialog.

Rumah Pejabat sebagai Simbol Ketidakadilan

Mengapa rumah pejabat ikut dijarah? Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari dimensi sosial-ekonomi. Dalam persepsi publik, rumah mewah pejabat bukan sekadar hunian pribadi, melainkan representasi privilese dan ketidakadilan. Saat rakyat menderita, gaya hidup elite dianggap sebagai bentuk ketidakpedulian. Maka, penjarahan dipahami—walau keliru secara hukum—sebagai upaya “redistribusi paksa dari bawah.” Aksi ini menyiratkan bahwa ketidakpuasan sosial sudah menembus batas ruang privat, dan hubungan antara penguasa dan rakyat berada di titik krisis kepercayaan.

Fenomena Global

Fenomena serupa bukan hanya terjadi di Indonesia. Dalam Arab Spring di Tunisia dan Mesir (2011), gedung pemerintahan, kantor polisi, dan properti elite jadi sasaran karena melambangkan represi rezim. Di Prancis saat gelombang Yellow Vest (2018–2019), massa menyerang restoran dan butik mewah di Champs-Élysées sebagai simbol ketimpangan sosial. Chile pada 2019 mengalami hal serupa, ketika stasiun metro dan kantor pemerintahan dibakar akibat kebijakan tarif yang dianggap menindas. Bahkan di Amerika Serikat, protes Black Lives Matter (2020) juga menjadikan kantor polisi target utama karena dianggap representasi rasisme sistemik. Pola ini memperlihatkan bahwa ketika kanal demokrasi macet, massa akan mencari “bahasa alternatif” yang sering kali destruktif.

Pilihan Sikap dan Jalan Keluar

Pertanyaannya: bagaimana kita menyikapi situasi ini? Ada beberapa pilihan yang bisa dipertimbangkan.
 1. Pendekatan Represif: Negara bisa menertibkan aksi dengan kekuatan aparat. Cara ini cepat, tetapi berisiko memperdalam jurang kepercayaan. Jika dipilih tanpa dibarengi dialog, potensi eskalasi justru semakin besar.
 2. Pendekatan Simbolik: Pemerintah dan pejabat publik dapat meredam amarah dengan gestur nyata, misalnya turun langsung menemui massa, mendengar aspirasi tanpa perantara, atau mengambil keputusan berani yang menunjukkan keberpihakan pada rakyat. Langkah simbolik sering kali lebih kuat dari sekadar kata-kata.
 3. Pendekatan Struktural: Krisis legitimasi hanya bisa diatasi dengan memperbaiki kanal partisipasi politik. DPR dan DPRD perlu kembali berfungsi sebagai penyalur aspirasi, bukan hanya mesin legislasi yang jauh dari rakyat. Polisi pun harus menegaskan diri sebagai pelindung masyarakat, bukan alat represi. Tanpa reformasi institusional, siklus protes anarkhis akan terus berulang.
 4. Pendekatan Keadilan Sosial: Ketimpangan yang terlalu lebar antara elite dan rakyat harus dikurangi. Transparansi kekayaan pejabat, pengendalian gaya hidup mewah di ruang publik, serta kebijakan redistribusi ekonomi yang adil dapat meredam rasa ketidakadilan yang memicu penjarahan.

Penutup

Aksi massa yang menyasar DPR, kepolisian, dan rumah pejabat adalah alarm keras bagi negara. Ini bukan sekadar soal keamanan, tetapi tentang krisis legitimasi dan rapuhnya kontrak sosial antara rakyat dan penguasa. Teori framing dan political opportunity structure membantu kita memahami mengapa amarah diarahkan ke simbol-simbol kekuasaan, sementara pengalaman negara lain menunjukkan bahwa pola serupa terus berulang di berbagai belahan dunia.
Pilihan kini ada di tangan negara dan elite politik: menutup mata dan membalas dengan kekerasan, atau membuka ruang dialog, reformasi, dan keadilan sosial. Sejarah memberi pelajaran: kekuasaan yang kehilangan legitimasi tak akan bertahan lama. Maka, sebelum api semakin membesar, mendengar rakyat adalah jalan terbaik.(Ikhlas/Azhar)

Komentar

Tampilkan

  • Api, Jarah, Ancaman Demokrasi dan Jalan Keluar
  • 0

Terkini

Iklan