Iklan

Iklan

Kajari Bone Rampas Milik Penambang Illegal Untuk Kesejahteraan Masyarakat Bone

31 Maret 2020, 8:38 PM WIB Last Updated 2020-03-31T12:38:46Z
RAKYATSATU.COM, BONE
- Kejaksaan Negeri (Kejari) Bone melakukan perampasan terhadap barang dan uang milik penambang ilegal di Kabupaten Bone yang jumlahnya tidak sedikit.


Hal itu diakui Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Bone, Dr Eri Satriana SH MH, saat bincang-bincang dengan Rakyatsatu.com, Selasa (31/03/2020).


Dalam bincang-bincang tersebut, Dr Eri Satriana, menegaskan kalau apa yang dilakukannya terkait perampasan milik penambang ilegal akan diuangkan untuk dikembalikan ke negara guna kesejahteraan rakyat Kabupaten Bone.


Adapun sejumlah barang yang dirampas Kejari Bone dari penambang ilegal adalah eksavator yang tidak lama akan dilelang sekitar Rp 300 juta, sampan, dan uang tunai sebesar Rp 600 juta.


"Perampasan tersebut kita lakukan untuk dikembalikan ke negara guna kesejahteraan rakyat Bone. Ini merupakan penghasilan bagi Kabupaten Bone di luar pajak," jelas Dr Eri Satriana.


Selain melakukan perampasan, sudah ada pula kasus tambang ilegal yang memiliki ketetapan hukum (inkra), yakni kasus tambang ilegal di Kecamatan Cenrana yang inkra dengan kurungan penjara 6 bulan dan denda Rp 10 milyar.


Olehnya itu, Dr Eri Satriana mengajak dan sangat mengharapkan peran aktif masyarakat dalam penegakan hukum dan mengawal kasus-kasus yang sedang berproses.


"Peran serta dan keterlibatan masyarakat sangat saya harapkan dalam penegakan hukum terutama mengawal kasus yang sedang berproses," harap Dr Eri Satriana.


Lanjutnya, apa yang dilakukannya terkait kasus tambang ilegal adalah hukum dari segi asas pemanfaatan selain sari asas keadilan dan asas kepastian.


Ia pun menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal ini tercermin dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. 


Sebagai Negara hukum maka seluruh aspek dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum. 


Secara historis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model, antara lain negara hukum menurut agama Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila.


"Menurut Aristoteles, negara haruslah berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya," ujar Kajari yang dikenal supel dan transparan terhadap jurnalis.


Lebih lanjut, Dr Eri menjelaskan bahwa, keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. 


"Dalam negara yang memerintah bukanlah manusia sebenarnya, melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja," tegasnya. 


Kajari yang terkesan santai pembawaannya namun tegas dalam bertindak, menjelaskan bahwa, dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 


Mengingat mineral dan batu bara sebagai kekayaan alam yang terkandung dl dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.


"Menurut Prof.DR. Ibr. Supancana, SH., MH. penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 memiliki pengertian yang lebih tinggi dari pemilikan secara konsepsi hukum perdata," jelas Dr Eri Satriana. 


Pasalnya, hal tersebut sebagaimana tertuang dalam pendapatnya sebagai berikut: Bahwa dengan memandang UUD 1945 sebagai sebuah sistem sebagaimana dimaksud, maka penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. 


Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). 


"Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”," tegasnya lagi.


Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah hukum negara pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 ayat (3) menentukan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. 


Ia pun memberikan pembahasan bahwa, guna memenuhi ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. 


Undang-undang tersebut selama lebih kurang empat dasawarsa sejak diberlakukannya telah dapat memberikan sumbangan yang penting bagi pembangunan nasional. 


Seiring perkembangan lebih lanjut, undang-undang tersebut yang materi muatannya bersifat sentraiistik sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi sekarang dan tantangan di masa depan.


Di samping itu, pembangunan pertambangan harus menyesuaikan diri dengan peruhahan lingkungan strategis, baik bersifat nasional maupun internasional. 


Tantangan utama yang dihadapi oleh pertambangan mineral dan batubara adalah pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi daerali, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan tekriologi dan informasi, hak atas kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran swasta dan masyarakat. 


"Kutipan penjelasan tersebut menjelaskan sejarah perkembangan ketentuan perundang-undangan mengenai pertambangan. Namun perkembangan tata hukum Indonesia tidak terlepas dari sejarah perkembangan bangsa Indonesia dari masa ke masa," ujar Dr Eri Satriana lebih mendalam.


"Sebelum membahas apa itu pertambangan, maka kita perlu memahami pengertian/arti pertambangan itu sendiri yang tentunya harus sesuai dengan tata hukum," ujarnya.


Dalam kamus bahasa Indonesia pertambangan adalah “urusan tambang menambang” yang berkata dasar tambang, yang berarti “lombong tempat mengambil hasil dari dalam bumi”.  Tanpa, memiliki arti “tidak dengan”.  


Sedangkan izin adalah “sikap atau pernyataan meluluskan/mengabulkan dan tidak melarang”.  


Secara keseluruhan dapat diartikan urusan terkait kegiatan pengambilan hasil dari dalam bumi yang dilakukan dengan tidak mendapatkan pernyataan terkait untuk meluluskan/memperbolehkan hal tersebut dilakukan. 



Sedangkan Pengertian Pertambangan dalam Undang-Undang No. 4 tahun 2009 Pasal 1 Ayat 1 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara memiliki arti “Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, dan penjualan serta kegiatan pasca tambang. 


Pengertian izin disini adalah izin untuk melakukan usaha pertambangan sebagaimana diatur dalam UU No. 4 tahun 2009, yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang yaitu Bupati/Gubernur/Menteri sesuai Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang menjadi kewenangannya masing-masing”.


Di dalam Undang-Undang khusus (lex spesialis) dalam hal ini Undang-Undang No.4 tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ketentuan pidana diatur pada Bab XXIII Pasal 158 sampai Pasal 165. 


Ketentuan pidana yang terdapat didalam undang-undang ini banyak mengatur persoalan izin yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). 


Pertambangan tanpa izin atau yang biasa disebut ilegal mining ini tidak hanya merugikan negara secara finansial, tapi sering juga menjadi penyebab munculnya berbagai persoalan seperti kerusakan lingkungan, konflik sosial, kejahatan, ketimpangan nilai ekonomi atau bahkan mendorong terjadinya kemiskinan baru. 


Fenomena ilegal mining di beberapa wilayah bahkan sampai mengganggu dan mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat.  


Ilegal mining sebagai bagian dari kejahatan terhadap kekayaan negara merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.


Namun, di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tidak ditemukan definisi dari pertambangan tanpa izin (ilegal mining) ini. Ilegal miningini merupakan terjemahan dari pertambangan yang tidak memiliki izin. 


Izin yang dimaksud adalah 3 jenis izin yang diakui dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. 


Ketiga izin tersebut adalah IUP (Izin Usaha Pertambangan), IPR (Izin Pertambangan Rakyat), dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus). 


Hal ini secara tidak langsung disebutkan dalam Bab XIII Ketentuan Pidana, yang menyebutkan dengan tegas sanksi administratif maupun sanksi pidana terhadap pertambangan tanpa izin (ilegal mining). 


"Penindakan terhadap tindak pidana pertambangan sendiri seharusnya mempertimbangkan sisi efisiensi dari penindakan tersebut. Namun perlu dikaji mengenai hakikat efisiensi," ujarnya lebih rinci. 


Efisiensi berkaitan dengan dua hal yaitu Pertama, apakah perbuatan-perbuatan yang ingin ditanggulangi dengan hukum pidana tidak banyak memerlukan biaya untuk menanggulanginya sehingga keuntungan yang hendak diraih darinya lebih besar; dan kedua, apakah sanksi pidana yang dijatuhkan lebih besar/berat dibandingkan dengan keuntungan yang diraih pelaku dari melakukan perbuatan pidana. 


Jika sanksi pidana lebih berat dari biaya yang harus dikeluarkan oleh pelaku, dapat dipastikan bahwa pelaku akan menghindar untuk melakukan kejahatan. 


Analisis ekonomi berkaitan dengan prinsip efisiensi itu jika dihubungkan dengan penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku kejahatan. 


"Yang pertama kali harus diperhatikan adalah bentuk-bentuk sanksi pidana apa saja yang tersedia yang akan dijatuhkan kepadanya. Kemudian, dari bentuk-bentuk sanksi pidana yang ada, dianalisis mana yang paling efisien dilihat dari prinsip biaya dan keuntungan," jelasnya lagi.


"Mengenai analisis sanksi pidana, nanti dilain waktu akan kita bahas karena ini membutuhkan waktu yang tidak singkat," ujar Dr Eri Satriana, sambil mengajak para jurnalis untuk membahas hal tersebut apabila dirinya memiliki waktu lowong.


Kembali kepada permasalahan mengenai tindak pidana pertambangan. Pembahasan mengenai efisiensi tersebut menunjukkan adanya suatu corak khusus terhadap tindak pidana a quo. 


Seseorang yang melakukan tindak pidana pertambangan merupakan seorang pelaku yang rasional. Hal tersebut terbukti dengan adanya celah untuk memperoleh keuntungan yang mendorong seseorang melakukan tindak pidana dimaksud. 


Corak rasional yang ditunjukkan oleh pelaku tindak pidana pertambangan menunjukkan bahwa seorang pelaku yang rasional selalu mempertimbangkan untung rugi dari setiap keputusan yang diambilnya. 


Hal ini tidak bisa dipungkiri karena tindak pidana pertambangan berpotensi menghasilkan suatu pemasukan dalam bentuk materi yang bermotif ekonomi. 


Bila terdapat kemungkinan untuk memperoleh keuntungan, seorang pelaku tindak pidana akan tetap melaksanakan tindak pidana tersebut sehingga perlu dijalankan sebuah konsep untuk meniadakan keuntungan dari pelaku kejahatan. 


Hal ini sesuai dengan konsep meniadakan keuntungan dari teori absolut. Berdasarkan hal tersebut, maka teori analisis ekonomi terhadap hukum memiliki fokus terhadap cara bekerja sistem ekonomi berdasarkan perspektif hukum dan perilaku yang didasarkan kepada pilihan rasional karena adanya sumber daya yang terbatas  dengan kebutuhan manusia yang tidak terbatas. 


Pertimbangan tersebut membawa kita kepada konsep mengenai adanya suatu peraturan perundangan yang dapat mengantisipasi tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku pidana. 


Ini dikarenakan sifat dasar suatu hukum yang mana akan selalu tertinggal dari perkembangan zaman sebagai sebuah kemusykilan. 


"Berbicara konsep peraturan yang mengatur mengenai pertambangan, dewasa ini keberadaan peraturan tersebut sudah cukup banyak. Izin berupa IUP dan IUPR dapat diberikan oleh stakeholder yang berwenang," ujar Dr Eri dengan ciri khas gayanya yang santai.


Keberadaan izin tersebut merupakan wujud alat kontrol pemerintah dalam bentuk menarik retribusi kepada pihak yang berkepentingan. Hal ini jelas menyiratkan adanya suatu realisasi dari asas kemanfaatan hukum yang dijalankan.


"Namun hal ini berlaku pula sebaliknya, apabila ketentuan berupa “retribusi” tersebut diingkari oleh pelaku tindak pidana pertambangan," ujarnya.


Suatu tindak pidana pertambangan akan muncul opportunity lost yaitu negara kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan nilai-nilai pemasukan yang seharusnya diterimanya untuk menyejahterakan warganya dan juga social cost yaitu biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat akibat terjadinya tindak pidana tersebut. 


Secara sederhana dalam menghitung opportunity lost tersebut dilakukan dengan tindakan pemulihan aset terhadap jumlah kerugian negara akibat tindak pidana a quo.


"Maka sekali lagi saya sangat mengharapkan keterlibatan dan peran aktif masyarakat dalam penegakan hukum," pungkasnya.  (Rasul)
Komentar

Tampilkan

  • Kajari Bone Rampas Milik Penambang Illegal Untuk Kesejahteraan Masyarakat Bone
  • 0

Terkini

Iklan