Mustari Mustafa, Presidium KAHMI Sulsel, Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI, serta Mantan Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Bangkok.
RAKYATSATU.COM, Gowa- Gelombang aksi sosial yang saat ini melanda berbagai daerah bukanlah fenomena yang muncul tiba-tiba. Ini adalah letupan dari akumulasi kejanggalan dalam praktik bernegara yang sudah berlangsung lama. Mahasiswa, masyarakat sipil, dan rakyat biasa turun ke jalan bukan hanya untuk mengobarkan keributan, melainkan karena rasa keadilan publik semakin terkoyak.
Mari kita cermati beberapa kejanggalan nyata yang semakin memperlihatkan bagaimana norma politik dan etika publik sering kali dilanggar begitu saja. Pertama, konstitusi yang seharusnya menjadi pegangan hukum justru diubah demi kepentingan elite, tanpa memperhatikan aspirasi rakyat. Kedua, pemimpin di berbagai lini tampak tidak profesional dalam menjalankan mandat mereka. Ketiga, kasus korupsi dan pidana dipermainkan di depan publik, seolah hukum hanya sebuah sandiwara belaka. Keempat, aparat negara dinaikkan gajinya dan diberi penghargaan tertinggi negara tanpa alasan yang jelas.
Kejanggalan yang lebih menyakitkan lagi adalah ketika pajak dinaikkan di berbagai sektor hampir bersamaan dengan kenaikan gaji anggota DPR, disertai dengan respons dari para dewan yang justru memperburuk hati rakyat. Sementara itu, penanganan aksi demonstrasi terkesan serampangan, dengan rakyat yang seharusnya dilindungi justru menjadi korban kekerasan aparat. Para elite politik dan pejabat lebih memilih posisi aman. Alih-alih merasakan keresahan rakyat, mereka justru menambah emosi publik dengan pernyataan normatif yang jauh dari kenyataan.
Semua ini, menurut saya, adalah akar dari meledaknya aksi sosial saat ini. Seperti yang disampaikan oleh Rocky Gerung, ini adalah radical break—sebuah titik di mana negara begitu busuk dan terputus dari norma, konstitusi, dan aturan. Di sini, rakyat merasa hanya keberanian mereka sendiri yang bisa memulihkan marwah negara.
Membaca Krisis dengan Teori Politik
Dari perspektif Max Weber, negara modern harusnya berlandaskan pada legitimasi legal-rasional, yaitu kepatuhan pada aturan hukum yang adil dan konsisten. Namun kenyataan justru sebaliknya. Konstitusi dipermainkan, hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, dan kebijakan publik seringkali justru melukai rakyat. Ini menggerus legitimasi legal-rasional dan membuat negara kehilangan otoritas moral di mata rakyat.
Dari kacamata Antonio Gramsci, kita sedang menyaksikan pergeseran dari hegemoni ke counter-hegemony. Negara berusaha mempertahankan hegemoni dengan simbol-simbol dan narasi keberhasilan, namun rakyat mulai melihat semua itu sebagai kebusukan. Aksi jalanan menjadi bentuk counter-hegemony—sebuah koreksi moral terhadap kuasa yang menyimpang. Bahkan dalam filsafat klasik, Plato pernah mengingatkan bahwa negara tanpa keadilan akan hancur oleh kontradiksinya sendiri. Ini yang sedang terjadi: negara berbicara atas nama hukum, tetapi pada saat yang sama hukum dijadikan alat kekuasaan.
Pesan untuk Presiden Prabowo
Kondisi saat ini bukan hanya gejolak rutin, melainkan alarm serius bagi kepemimpinan yang ada. Rakyat turun ke jalan bukan hanya ingin menantang negara, tetapi menuntut negara untuk kembali pada prinsip keadilan dan akal sehat.
Jika alarm ini diabaikan, rakyat akan semakin yakin bahwa negara telah tercerabut dari kontrak sosialnya. Polisi yang kelelahan di lapangan bukan hanya mencerminkan keruntuhan keamanan, tetapi juga rapuhnya legitimasi politik. Dan elite yang memilih aman hanya akan mempercepat delegitimasi itu.
Sebaliknya, jika Presiden Prabowo proaktif—dengan arahan moral yang jelas, sikap persuasif terhadap aparat, serta dialog terbuka dengan mahasiswa dan rakyat—maka sejarah akan mencatat bahwa Presiden bukan hanya penguasa, tetapi negarawan sejati. Inilah ujian kepemimpinan yang sesungguhnya, untuk membuktikan bahwa kekuasaan bukan pagar besi yang memisahkan negara dan rakyat, melainkan jembatan yang menghubungkan aspirasi rakyat dengan kebijakan yang adil.
Presiden Prabowo, sejarah sedang mengetuk pintu kepemimpinan Anda. Alarm ini jangan diabaikan, karena jika terlambat, kepercayaan rakyat yang runtuh akan sangat sulit untuk dipulihkan.(Ikhlas/ Azhar)